Selasa, 11 Oktober 2016

Kebenaran dan Lelaki itu

Oleh : Ferdinand Edoway

Mega-mega tercabik. Terkoyak bayu yang melintas mengena. meneteskan rintik rintik
basah. Rintik yang kemudian menyinggahi dedaunan, ranting, pepohonan sampai
memeluk bumi. terik mentari yang tenar beberapa jam yang lalu redup dan menghilang
bersama kabut pekat yang melahirkan rintik-rintik pilu.
Hujan ......
Ya..... Hujan itu kembali tumpah ruah. Kali ini airnya mengalir jauh menelusuri jejakjejak
pancaran nur mentari. mencari setapak dan membasahi restan harapan yang
barangkali di tinggalkan cahaya yang melintasi kota ini. derap langkah terpantul jauh
dalam Irama lambat seakan terpaksa bertamu pada bumi.
Hujan yang turun hari ini bukan hujan yang kemarin. hari ini badai kabut pekat
sekonyong-konyong mengawali datangnya rintik hujan. bibit hujan yang kemudian
melahirkan sekian liter kubik tumpah membasahi bumi. bukan dari kabut awan yang
tercabik angin. bukan pula bawahan badai angin. hujan itu dipaketkan dari sebuah medan
pertempuran.
Pertempuran sengit yang tidak terelakkan. Jauh terdengar irama hempasan pedang,
letupan aneka senapan melahirkan nada dan melodi yang merdu dan sumbang pada pihak
yang bersengketa. Tiupan sangkakala pertempuran di langit Amungsa memaksa awan
segera merobek diri menumpahkan rintik rintik kesedihan. Lebat Hujan rasa kehilangan
menggenangi setiap jiwa yang haus kebenaran.
Rintik rintik itu menyiksa jiwa-batin yang kehilangan sosok lelaki yang beberapa jam lalu
berdiri didepan dengan lantang menyuarakan kebenaran sebuah harga diri. Pada lain
pihak hujanpun turun membanjiri sepasang pipi beribu jiwa yang menanti terbitnya sang
surya menghalau kegelapan.
Sebuah adengan alam yang sedang dinanti dan dirindukan segera dilakoni. Pedang terik
cahaya mentari merobek merobek tirai kegelapan kemudian dicampakkan ketubir dasar
bumi dalam tontonan beribu pasang mata.
Lelaki yang hendak terbang bersama fajar mentari dini hari belum menapak diri. gunung
Nemangkawi, sungai ajaikwa dan Amugme beserta kerabat rindu cemas menantikan
tekad lelaki itu. tekat merobek badai kegelapan buta aksara, kelamnya sosial, kabut
keterampilan, belum kunjung tiba.
Kekuatan itu, badai itu, telah memaksa dia berhenti. Sampai disini peranmu. Kemudian
menjarakkan dia jauh dari jiwa dan alam yang menanti perannya. entah kemana badai
menghempaskan, diluar sana rintik hujan masih membasahi beribu jiwa dan jatuh
memeluk bumi.
Lelaki itu telah pergi. Menghilang laksana dedaunan yang diterbangkan angin. Jejak kaki
yang tidak teratur memberi pesan arah yang terpaksa. Sebuah pesan keterpaksaan
menjadi imigran dalam alam lain. Dalam sadarnya dia tidak memiliki passport dan visa
namun kekuatan itu memaksa dirinya menyeberangi jarak yang tak terduga, tempat
dimana surat jalannya akan mati seketika kaki dijejakan dibalik tirai.
Kemarin lelaki itu masih ada disini. Ya, di tempat ini. Tidak jauh dari antara kita. Duduk
bersama kita, mendaki bersama, menuruni bersama dalam langkah yang serasi. Lelaki itu
bersama kita minum segelas, makan sepiring. Tidur sekamar dalam sebuah mimpi yang
sama.
Mimpi meraih harga yang mahal, harga diri sebuah Anugerah Ilahi. merebut nilai
pemberian TUHAN Semesta Alam dari jiwa jiwa yang memperkosa kebenaran Khalik,
mengotori jalan Ilahi, merangkul dunia hitam.
Hari ini, Lelaki itu masih terlihat duduk disini. diteras rumah ini. Pandangan matanya
jauh menatap gunung yang menjulang tinggi. Puncak gunung Nemangkawi yang terlihat
tidak setinggi semasa dia masih kanak dulu. Lelaki itu mendapat ilham: gunungku sedang
di gerogoti, apa yang aku dan kaumku dapat !. Sesekali sorotan matanya terpaku pada
sungai yang jauh mengalirkan limbah-limbah tambang. apa yang kerabatku peroleh !.
Dulu sekali dia dan orang tuanya sering berburu berbagai jenis binatang di gunung ini
kemudian turun sungai menjaring ikan. bersama berhidang merata dalam honai istana
keluarga. dalam honai inilah dia pernah dibisikan orang tua tentang sebuah surat.
Selembar kertas yang penting tentang hak pemilik gunung yang diberikan manusia
berkulit putih, beramput pirang dan memiliki mata biru.
Pandangan tetap kedepan. mengejar hak yang tertuang dalam seberkas kertas bertuah.
Lembaran kertas yang bernilai kebenaran. sebuah nilai hak yang dapat mengangkat harga
diri pemilik ulayat harus diperoleh, tekad lelaki itu.
Lelaki itu. Dia bukanlah malaikait yang turun dari khayangan. dia manusia sama seperti
kita. dilahirkan dari seorang wanita. Berselimut salju abadi dibawa gunung Nemangkawi
(Grasberg) dia dibesarkan. Namun mengambil peran malaikat menghormati kebenaran.
Lelaki itu bersimpu pelu sekujur tubuh mengejar harga diri dari sebuah kebenaran.
berkelakar dengan melepas senyuman khas yang lebar. bercerita menyusun narasi yang
panjang mengupas kulit kulit kebenaran.
“Kebenaran adalah nilai yang hakiki”. “jalan Ilahi dipenuhi kebenaran karena TUHAN
itulah kebenaran”. “Maka perjuangkanlah Kebenaran.”
“Apa yang anda perjuangkan?
“Kebenaran apa yang ada di benakmu? Suara itu menghentak lelaki itu.
“dari mana suara itu berasal,” tanya lelaki itu dalam hati.
Pandangan kedua bola matanya bergilir menyoroti empat sudut bilik yang ada.
“Hi, kamu cari siapa, aku ada disini. tepat dihadapanmu.”
“diihadapanku hanya sebuah gelas kopi, dimana kau,” tanya lelaki itu penuh heran.
“Akulah kopi yang sariku sudah kau minum.”
“Kopi bisa bicara? tidak mungkin, kau bukanlah seekor mahluk yang mempunyai nyawa.
kau hanyalah sebuah kopi yang diputar dalam gelas lalu sarinya diminum manusia.” Kata
lelaki itu penuh kaget.
“Ya, aku kopi, yang sedang bicara dengan anda”.
“Wao, kau bisa bicara! apakah kabar kawan”, Sahut lelaki itu penuh heran melihat bubuk
sisa kopi didasar gelasnya bisa bicara.
“Kabarku baik, tapi…… ! “ tapi apa kawan, jangan putus disitu. bicaralah yang lantang
sambung lelaki itu.
“Aku minta maaf, sejak awal aku mau sampaikan namun mulutku dikekang. aku tak
mampu bersuara. dia menutup mulutku. aku tak berdaya”. Jelas kopi.
Siapa yang menutup mulutmu, apa yang ingin anda sampaikan kawan, kejar lelaki itu
ingin tahu.
“Jangan cicipi aku, jangan minum sariku, itulah yang ingin aku sampikan”. namun aku
dibuat tak berdaya oleh makluk jahat yang memasuki gelas dan menyatu dengan sariku.
binatang maut itu mengatup mulutku,” jelas kopi dengan penuh kesedihan.
Dalam diam lelaki itu merasakan sesuatu menjalar mengitari seluruh tubuhnya. kali ini
tidak seperti biasanya. sakit perut. sakit dada. pening kepala. penyakit malaria yang dapat
melemahkan kerja sendi-sendi otot.
“Penyakit - penyakit itu aku kenal, tapi yang aku rasakan saat ini beda jauh dan itu pasti
kekuatan itu. binatang yang dibicarakan kopi” gumang lelaki itu dalam hati dengan penuh
penyesalan pada minuman yang telah dihabisinya.
Gunakan media kopi kau menyelinap pagi ini. ya, pagi ini ketika mentari menapak diri
diufuk timur diam diam maksud jahat kau buktikan bak pencuri ulung di siang rembang.
mencuri hak mutlak Pencipta. maut dengan sengatmu, kau melumpuhkannya.
Kekuatan yang dipungut dari kerajaan neraka telah membuat lelaki itu berada pada jarak
yang tak pasti. Situasi itu mempengaruhi dia menghilang dari antara komunitasnya tanpa
sedikitpun pesan. dalam hitungan jarum jam lelaki itu menghilang entah bersama mentari
yang memasuki peraduan atau bersama angin pantai selatan yang berhembus dengan arah
yang tak terduga.
Seiring sang mentari memancarkan cahaya dan memenuhi langit Amungsa dengan warna
jingga, lelaki itu mulai melangkah keluar dengan kaki yang berat memisahkan diri
dengan kelompok yang haus kebenaran. Kepergiannya ditelang malam pekat yang
melintasi belantara kebenaran.
Capek dan lelah mengejar impian bukanlah penyebab perginya Penjuang yang
mengobarkan semangat kebenaran. Kebenaran mesti diungkap, kebenaran harus
ditegakkan, kebenaran harus dijalankan.
Kepergiannya bukan berarti lenyapnya buruan. Kebenaran tetaplah kebenaran. Kebenaran
dapat disalahkan namun kebenaran tidak dapat dikalahkan. Itulah alasannya derap
langkah kakinya masih tetap terdengar di alam sana. Dia masih pada alurnya tanpa
mengenal lelah melangkah dalam jalan khalik langit-bumi yang sering dinodai manusia
tak berkasih. Insan yang menyerupai penguasa kegelapan, pemilik kerajaan sijago merah,
merekalah penduduk neraka berwujud manusia yang hidup di bumi.
Gong Kebenaran telah di tabuh dan gaungnya telah diperdengarkan sampai ke ujung
samudera. Kobaran semangat perjuangkan kebenaran sebuah harga diri senantiasa
tergiang di telinga tiap mahluk. meresponsenya tergantung kondisi telinga.
tentu bagi lelaki itu harga diri itulah kebenaran dan kebenaran itulah harga diri yang
dianugerahi Ilahi dan perlu diselamatkan dari orang orang yang mempermainkan
kebenaran.
Disini. ditanah ini. Gong kebenaran itu sedang di tabuh dan terus memperdengarkan
suaranya.
Itu…! segera bersihkan telingamu dan lekaslah dengar.
Dengar ….. !, dengarkan….. !, itu...... !
Tebing gunung Nemangkawi masih memantulkan gemanya….
Air sungai aijakwa masih melanjutkan gaungnya
Angin gunung grasberg masih menghembuskan sabda kebenaran
Gugusan Salju abdi grasberg masih erat mengikat kebenaran
Gumpalan awan diatas sana masih mengandung kebenaran
Gemuruh badai masih mewartakan kebenaran
Hujan bumi Amungsa masih meneteskan kebenaran
Ya, alam bumi Amungsa masih memantulkan gema suara lelaki itu. Lelaki yang dipaksa
keluar dari bumi ini. Lelaki itu. dialah pejuang kebenaran. ya, layak dinobatkan Pejuang

Kebenaran bagi Jacky Amisim #878224. Selamat jalan.

Jumat, 13 Mei 2016

Melamar "Gadis" Papua


yakob kekasihnya mina,  suatu ketika yakob buat, Kata2 Mutia untuk Mina,

"Sayang, tanpa kau,
Segalanya jadi gelap,
angin melambaikan hujan,
kau seperti pelangi,
mentari yang hangat
untuk saya”
                                    
Mina balas" Yakob sebenarnya kau lamar saya”atau kasih laporan cuaca...??? 

Posted :MethuCs