Oleh : Ferdinand Edoway
Mega-mega tercabik. Terkoyak bayu yang
melintas mengena. meneteskan rintik rintik
basah. Rintik yang kemudian menyinggahi dedaunan,
ranting, pepohonan sampai
memeluk bumi. terik mentari yang tenar beberapa jam yang
lalu redup dan menghilang
bersama kabut pekat yang melahirkan rintik-rintik pilu.
Hujan ......
Ya..... Hujan itu kembali tumpah ruah. Kali ini airnya
mengalir jauh menelusuri jejakjejak
pancaran nur mentari. mencari setapak dan membasahi
restan harapan yang
barangkali di tinggalkan cahaya yang melintasi kota ini.
derap langkah terpantul jauh
dalam Irama lambat seakan terpaksa bertamu pada bumi.
Hujan yang turun hari ini bukan hujan yang kemarin. hari
ini badai kabut pekat
sekonyong-konyong mengawali datangnya rintik hujan. bibit
hujan yang kemudian
melahirkan sekian liter kubik tumpah membasahi bumi.
bukan dari kabut awan yang
tercabik angin. bukan pula bawahan badai angin. hujan itu
dipaketkan dari sebuah medan
pertempuran.
Pertempuran sengit yang tidak terelakkan. Jauh terdengar irama hempasan pedang,
letupan aneka senapan melahirkan nada dan melodi yang
merdu dan sumbang pada pihak
yang bersengketa. Tiupan sangkakala pertempuran di langit
Amungsa memaksa awan
segera merobek diri menumpahkan rintik rintik kesedihan.
Lebat Hujan rasa kehilangan
menggenangi setiap jiwa yang haus kebenaran.
Rintik rintik itu menyiksa jiwa-batin yang kehilangan
sosok lelaki yang beberapa jam lalu
berdiri didepan dengan lantang menyuarakan kebenaran
sebuah harga diri. Pada lain
pihak hujanpun turun membanjiri sepasang pipi beribu jiwa
yang menanti terbitnya sang
surya menghalau kegelapan.
Sebuah adengan alam yang sedang dinanti dan dirindukan
segera dilakoni. Pedang terik
cahaya mentari merobek merobek tirai kegelapan kemudian
dicampakkan ketubir dasar
bumi dalam tontonan beribu pasang mata.
Lelaki yang hendak terbang bersama fajar mentari dini
hari belum menapak diri. gunung
Nemangkawi, sungai ajaikwa dan Amugme beserta kerabat
rindu cemas menantikan
tekad lelaki itu. tekat merobek badai kegelapan buta
aksara, kelamnya sosial, kabut
keterampilan, belum kunjung tiba.
Kekuatan itu, badai itu, telah memaksa dia berhenti. Sampai disini peranmu. Kemudian
menjarakkan dia jauh dari jiwa dan alam yang menanti
perannya. entah kemana badai
menghempaskan, diluar sana rintik hujan masih membasahi
beribu jiwa dan jatuh
memeluk bumi.
Lelaki itu telah pergi. Menghilang laksana dedaunan yang
diterbangkan angin. Jejak kaki
yang tidak teratur memberi pesan arah yang terpaksa.
Sebuah pesan keterpaksaan
menjadi imigran dalam alam lain. Dalam sadarnya dia tidak memiliki passport dan visa
namun kekuatan itu memaksa dirinya menyeberangi jarak
yang tak terduga, tempat
dimana surat jalannya akan mati seketika kaki dijejakan
dibalik tirai.
Kemarin lelaki itu masih ada disini. Ya, di tempat ini.
Tidak jauh dari antara kita. Duduk
bersama kita, mendaki bersama, menuruni bersama dalam
langkah yang serasi. Lelaki itu
bersama kita minum segelas, makan sepiring. Tidur sekamar
dalam sebuah mimpi yang
sama.
Mimpi meraih harga yang mahal, harga diri sebuah Anugerah
Ilahi. merebut nilai
pemberian TUHAN Semesta Alam dari jiwa jiwa yang
memperkosa kebenaran Khalik,
mengotori jalan Ilahi, merangkul dunia hitam.
Hari ini, Lelaki itu masih terlihat duduk disini. diteras
rumah ini. Pandangan matanya
jauh menatap gunung yang menjulang tinggi. Puncak gunung
Nemangkawi yang terlihat
tidak setinggi semasa dia masih kanak dulu. Lelaki itu
mendapat ilham: gunungku sedang
di gerogoti, apa yang aku dan kaumku dapat !. Sesekali
sorotan matanya terpaku pada
sungai yang jauh mengalirkan limbah-limbah tambang. apa
yang kerabatku peroleh !.
Dulu sekali dia dan orang tuanya sering berburu berbagai
jenis binatang di gunung ini
kemudian turun sungai menjaring ikan. bersama berhidang
merata dalam honai istana
keluarga. dalam honai inilah dia pernah dibisikan orang
tua tentang sebuah surat.
Selembar kertas yang penting tentang hak pemilik gunung
yang diberikan manusia
berkulit putih, beramput pirang dan memiliki mata biru.
Pandangan tetap kedepan. mengejar hak yang tertuang dalam
seberkas kertas bertuah.
Lembaran kertas yang bernilai kebenaran. sebuah nilai hak
yang dapat mengangkat harga
diri pemilik ulayat harus diperoleh, tekad lelaki itu.
Lelaki itu. Dia bukanlah malaikait yang turun dari
khayangan. dia manusia sama seperti
kita. dilahirkan dari seorang wanita. Berselimut salju
abadi dibawa gunung Nemangkawi
(Grasberg) dia dibesarkan. Namun mengambil peran malaikat
menghormati kebenaran.
Lelaki itu bersimpu pelu sekujur tubuh mengejar harga
diri dari sebuah kebenaran.
berkelakar dengan melepas senyuman khas yang lebar.
bercerita menyusun narasi yang
panjang mengupas kulit kulit kebenaran.
“Kebenaran adalah nilai yang hakiki”. “jalan Ilahi
dipenuhi kebenaran karena TUHAN
itulah kebenaran”. “Maka perjuangkanlah Kebenaran.”
“Apa yang anda perjuangkan?
“Kebenaran apa yang ada di benakmu? Suara itu menghentak lelaki itu.
“dari mana suara itu berasal,” tanya lelaki itu dalam
hati.
Pandangan kedua bola matanya bergilir menyoroti empat
sudut bilik yang ada.
“Hi, kamu cari siapa, aku ada disini. tepat dihadapanmu.”
“diihadapanku hanya sebuah gelas kopi, dimana kau,” tanya
lelaki itu penuh heran.
“Akulah kopi yang sariku sudah kau minum.”
“Kopi bisa bicara? tidak mungkin, kau bukanlah seekor
mahluk yang mempunyai nyawa.
kau hanyalah sebuah kopi yang diputar dalam gelas lalu
sarinya diminum manusia.” Kata
lelaki itu penuh kaget.
“Ya, aku kopi, yang sedang bicara dengan anda”.
“Wao, kau bisa bicara! apakah kabar kawan”, Sahut lelaki
itu penuh heran melihat bubuk
sisa kopi didasar gelasnya bisa bicara.
“Kabarku baik, tapi…… ! “ tapi apa kawan, jangan putus
disitu. bicaralah yang lantang
sambung lelaki itu.
“Aku minta maaf, sejak awal aku mau sampaikan namun
mulutku dikekang. aku tak
mampu bersuara. dia menutup mulutku. aku tak berdaya”.
Jelas kopi.
Siapa yang menutup mulutmu, apa yang ingin anda sampaikan
kawan, kejar lelaki itu
ingin tahu.
“Jangan cicipi aku, jangan minum sariku, itulah yang
ingin aku sampikan”. namun aku
dibuat tak berdaya oleh makluk jahat yang memasuki gelas
dan menyatu dengan sariku.
binatang maut itu mengatup mulutku,” jelas kopi dengan
penuh kesedihan.
Dalam diam lelaki itu merasakan sesuatu menjalar
mengitari seluruh tubuhnya. kali ini
tidak seperti biasanya. sakit perut. sakit dada. pening
kepala. penyakit malaria yang dapat
melemahkan kerja sendi-sendi otot.
“Penyakit - penyakit itu aku kenal, tapi yang aku rasakan
saat ini beda jauh dan itu pasti
kekuatan itu. binatang yang dibicarakan kopi” gumang
lelaki itu dalam hati dengan penuh
penyesalan pada minuman yang telah dihabisinya.
Gunakan media kopi kau menyelinap pagi ini. ya, pagi ini
ketika mentari menapak diri
diufuk timur diam diam maksud jahat kau buktikan bak
pencuri ulung di siang rembang.
mencuri hak mutlak Pencipta. maut dengan sengatmu, kau
melumpuhkannya.
Kekuatan yang dipungut dari kerajaan neraka telah membuat
lelaki itu berada pada jarak
yang tak pasti. Situasi itu mempengaruhi dia menghilang
dari antara komunitasnya tanpa
sedikitpun pesan. dalam hitungan jarum jam lelaki itu
menghilang entah bersama mentari
yang memasuki peraduan atau bersama angin pantai selatan
yang berhembus dengan arah
yang tak terduga.
Seiring sang mentari memancarkan cahaya dan memenuhi
langit Amungsa dengan warna
jingga, lelaki itu mulai melangkah keluar dengan kaki
yang berat memisahkan diri
dengan kelompok yang haus kebenaran. Kepergiannya
ditelang malam pekat yang
melintasi belantara kebenaran.
Capek dan lelah mengejar impian bukanlah penyebab
perginya Penjuang yang
mengobarkan semangat kebenaran. Kebenaran mesti diungkap,
kebenaran harus
ditegakkan, kebenaran harus dijalankan.
Kepergiannya bukan berarti lenyapnya buruan. Kebenaran
tetaplah kebenaran. Kebenaran
dapat disalahkan namun kebenaran tidak dapat dikalahkan.
Itulah alasannya derap
langkah kakinya masih tetap terdengar di alam sana. Dia
masih pada alurnya tanpa
mengenal lelah melangkah dalam jalan khalik langit-bumi
yang sering dinodai manusia
tak berkasih. Insan yang menyerupai penguasa kegelapan,
pemilik kerajaan sijago merah,
merekalah
penduduk neraka berwujud manusia yang hidup di bumi.
Gong
Kebenaran telah di tabuh dan gaungnya telah diperdengarkan sampai ke ujung
samudera. Kobaran semangat perjuangkan kebenaran sebuah
harga diri senantiasa
tergiang di telinga tiap mahluk. meresponsenya tergantung
kondisi telinga.
tentu bagi lelaki itu harga diri itulah kebenaran dan kebenaran
itulah harga diri yang
dianugerahi Ilahi dan perlu diselamatkan dari orang orang
yang mempermainkan
kebenaran.
Disini. ditanah ini. Gong kebenaran itu sedang di tabuh
dan terus memperdengarkan
suaranya.
Itu…! segera bersihkan telingamu dan lekaslah dengar.
Dengar ….. !, dengarkan….. !, itu...... !
Tebing gunung Nemangkawi masih memantulkan gemanya….
Air sungai aijakwa masih melanjutkan gaungnya
Angin gunung grasberg masih menghembuskan sabda kebenaran
Gugusan Salju abdi grasberg masih erat mengikat kebenaran
Gumpalan awan diatas sana masih mengandung kebenaran
Gemuruh badai masih mewartakan kebenaran
Hujan bumi Amungsa masih meneteskan kebenaran
Ya, alam bumi Amungsa masih memantulkan gema suara lelaki
itu. Lelaki yang dipaksa
keluar dari bumi ini. Lelaki itu. dialah pejuang
kebenaran. ya, layak dinobatkan Pejuang
Kebenaran bagi Jacky Amisim #878224. Selamat jalan.